“Iya, I’m aware. Cuma, tergantung kesepakatannya apa, ada yang tidak melibatkan seks. Jadi ya, it depends,” ujar Intan (bukan nama sebenarnya) dalam suatu sesi wawancara lewat aplikasi pesan singkat WhatsApp. Intan telah menjalani profesi sugar baby selama dua tahun. Ia merupakan salah satu sugar baby yang melakukan hubungan seks dalam hubungannya dengan sugar daddynya.
Sugaring adalah keadaan di mana antara dua orang, yaitu sugar baby (wanita muda) dan sugar daddy (biasanya pria yang sudah berumur) membuat sebuah kesepakatan, dengan imbalan berupa uang yang diberikan oleh sugar daddy kepada sugar baby. Setiap hubungan sugaring biasanya memiliki imbalan berupa nominal uang yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Kesepakatan yang terjadi bisa beragam, ada sugar daddy yang hanya sekadar ingin ditemani selayaknya berkencan dan ada juga yang meminta adanya hubungan seks. Meskipun begitu, hubungan sugaring yang melibatkan hubungan seks termasuk sebagai prostitusi.
Seperti halnya yang terdapat pada KUHP pasal 296 tentang prostitusi yang berbunyi “Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Dari pasal yang telah disebutkan, maka bisa disimpulkan bahwa praktik sugaring yang melibatkan hubungan seks merupakan prostitusi. Hal ini tentunya melanggar hukum sehingga praktik sugaring yang melibatkan hubungan seks bisa terbilang ilegal.
Bagi Intan, sebuah hubungan sugaring dapat dikatakan sebagai prostitusi tergantung pada kesepakatan yang terjadi antara sugar daddy dan baby. Dalam kasus dirinya sendiri, Intan mengakui tidak terjadi pemaksaan atas dirinya. Hubungan seks tumbuh dari kedekatan dirinya dengan sang sugar daddy.
“Iya. itu lebih kayak hasil dari hubungan emosional kita, yang saya punya, with each other, jadi ya it happens gitu,” sambung Intan.
Namun, ia mengaku tetap ingin menjadi seorang sugar baby kendati stigma “pelacur” yang kerap dikenakan masyarakat bagi para wanita muda yang menukarkan gratifikasi demi uang atau hadiah material dengan pria yang jauh lebih senior ini. Menurutnya, keuntungan yang diperoleh lebih penting dari stigma yang ia hadapi tersebut.
“Generally speaking, ya nyaman karena kebutuhan yang saya perlukan terpenuhi, selama hubungannya masih dalam arrangements yang secure ya.” tambahnya lagi. Selain uang, ia mengaku juga diberikan imbalan material seperti pergi berkencan dan non-material seperti koneksi dan pengetahuan. Tentunya dengan imbalan gratifikasi dari dirinya.
“Pastinya kayak gini-gini bakal dapat stigma karena mereka melihat pada akhirnya kalau ada money involved, artinya ya prostitution. Padahal I have the rights to say no,” ujar Intan lagi. Menurutnya, sugaring lebih dari sekadar hanya prostitusi.
“Bagi saya yang membedakan adalah, bukan karena saya membela, tapi bagaimana the sexual encounters itu sebagai sesuatu yang optional. Kayak we don't have to do that (sex), kayak cuma buat pemanis doang. Tergantung kebutuhan masing-masing, relationship setiap sugar daddy beda, ada yang itu (hubungan seks) opsional, ada juga yang menurutnya penting.” tutur Intan lagi.
Serupa dengan Intan, Marina (bukan nama sebenarnya) sebagai seorang sugar baby lainnya berpendapat bahwa sugaring bukanlah prostitusi. Walaupun demikian, ia berpesan agar konteks selalu diperhatikan tanpa mengatakan konteks apa yang ia maksud.
“Untukku (sugaring) itu hanya orang asing menggunakan orang lain saja (untuk keuntungan masing-masing)” tuturnya.
Pencarian istilah “sugar daddy” dalam kamus bahasa Inggris Oxford Learner’s Dictionaries menghasilkan definisi “pria kaya yang lebih tua yang memberikan hadiah dan uang kepada wanita yang jauh lebih muda, biasanya untuk ditukar dengan seks”. Berdasarkan definisi ini, istilah “sugar daddy” sendiri tidak mengandung indikasi panjang waktu. Marina ditemui lewat aplikasi kencan daring Sugarbook. Menurut pengakuannya, ia tidak pernah berhubungan dengan satu orang sugar daddy lebih dari satu minggu.
“Saya bertemu dengan dua atau tiga orang di sini (di Sugarbook) sebelumnya. Tetapi mereka tidak pernah mau (berhubungan) dalam jangka panjang. Hanya seperti beberapa kali atau satu minggu dan sesudahnya, pergi,” ujar Marina.
Marina mengatakan pula bahwa kebanyakan sugar daddy yang ia temukan memintanya untuk melakukan hubungan seks. Hal tersebut menurutnya sudah disepakati sejak pertama kali ia akan berkencan dengan seorang sugar daddy.
“Ya (setuju untuk melakukan hubungan seks). Dan kebanyakan dari mereka (sugar daddy) menginginkan (hubungan seks) itu, kan? Itulah mengapa mereka kemudian mencari sugar baby,” ujarnya.
Walaupun demikian, sugaring baginya tidak selalu harus melibatkan hubungan seks. “Mereka hanya ingin seks, sebelumnya. Namun, mereka juga ingin ditemani (dengan) mengobrol. Mereka ingin perhatian,” tambah Marina.
Safira (bukan nama sebenarnya), seorang sugar baby lainnya, mengaku juga berhubungan seks dalam hubungannya. Setelah menjalaninya selama dua tahun dengan seorang pria dari Austria, hubungan tersebut harus berakhir lantaran pandemi Covid-19. Seperti Intan dan Marina, kendati melakukan hubungan seks, Safira juga berpikir bahwa sugaring tidak harus selalu tentang seks.
“Ya, saya melakukan (hubungan seks juga). Namun, kami tidak membuat janji hanya untuk seks, terkadang dia hanya butuh ditemani, pergi makan malam atau menonton film, atau saya diajak ikut dalam perjalanan bisnisnya,” jawab Safira ketika diwawancarai lewat aplikasi kencan daring Sugarbook.
Oleh karena itu, menurut Safira, sugaring bukanlah prostitusi. Ia lebih memilih membandingkan sugaring dengan hubungan pacaran.
“Untuk saya itu (sugaring) bukan (prostitusi). Saya menjalani hubungan secara eksklusif tetap sama satu orang untuk hampir dua tahun atau lebih. Ga ada bedanya sama pacaran kan? Bedanya cuma ga ada tekanan kaya orang normal pacaran kaya biasanya,” tuturnya.
Contoh-contoh di atas merupakan pandangan mengenai sugaring yang kami dapat dari beberapa sugar baby. Walaupun sugar baby sering mendapat stigma sebagai pelacur dan sugaring itu sendiri sebagai prostitusi, mereka sendiri menolak asosiasi yang umum dalam masyarakat tersebut.
Namun, sugaring terbukti kontroversial dalam wacana kemasyarakatan Indonesia. Untuk mengetahui apa sebenarnya masalah dari sugaring, kami mewawancarai dua orang pakar. Kami juga sempat mengirimkan pos-el kepada beberapa pakar akademis hukum pidana dan sosiologi, tetapi sejauh ini belum satupun yang membalas.
Bagi aktivis feminis sekaligus dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Arie Setyaningrum Pamungkas, sugaring merupakan hasil dari ketimpangan gender yang ada di masyarakat. Namun, ia lebih memilih menggunakan istilah “pergundikan modern” untuk merujuk pada sugaring.
“Sejujurnya ini adalah istilah dari “Barat” yang melihat fenomena “pergundikan” modern dengan istilah yang bercampur baur dengan istilah “kesehatan” yang melihat “penambahan gula” sebagai bahaya dari kesehatan manusia,” ujarnya.
Lalu, mengapa ada fenomena pergundikan itu sendiri?
“Jawabannya adalah karena sistem sosial kita dibangun di atas reproduksi sosial ekonomi dan politik yang kurang adil terutama bagi kaum perempuan,” ujar Tia Pamungkas lagi, sebagaimana ia akrab dikenal. Lebih lanjut lagi, ia menyarankan pada kami untuk merujuk pada teori “Law of the Father” sebagaimana didefinisikan oleh Jacques Lacan dengan akar dari konsep oleh Sigmund Freud.
Dalam teori “Law of the Father”, Lacan berargumen bahwa terdapat keinginan/nafsu dalam diri manusia. Keinginan/nafsu tersebut merupakan motivasi awal manusia dalam melakukan segala tindakannya selama ia belum mengenal larangan dalam bentuk apapun. Melihat dari sisi anak laki-laki, terdapat sisi natural di mana anak laki-laki lebih tertarik dan secara emosional lebih dekat dengan ibunya. Pada tingkat tertentu, ketertarikan ini sah. Namun, ketika suasana ketertarikan tersebut memiliki potensi berubah menjadi ke arah seksual, Lacan menempatkan figur ayah/bapak sebagai figur pelarang. Ayah/bapak memiliki kekuatan lewat ancaman hukuman untuk melarang, dan sebab itu menekan hasrat seksual anak laki-lakinya pada ibunya. Argumen tersebut berlanjut bahwa ketika sang anak beranjak dewasa, ia akan menjadi figur pengganti ibunya dalam bentuk istri atau partner seksual perempuannya. Situasi ini di sisi lain memiliki efek menjadikannya sebagai figur ayah pada gilirannya. Secara kontras, anak perempuan juga mengalami larangan yang sama. Namun, secara konvensi sosial, ia harus tetap “dekat” dengan ibunya. Hal ini karena dari ibunya-lah anak perempuan harus belajar menjadi seorang perempuan/wanita dewasa. Di sisi lain, ia menjadi dekat dengan ayahnya, tetapi dilarang untuk tertarik secara seksual pada ayahnya.
Teori ini dibawa lebih lanjut ke ranah sosial dan adat oleh Mary Murray dalam The Law of the Father: Patriarchy in the Transition from Feudalism to Capitalism. Poin besar yang diambil Murray dari teori ini adalah pengaruh ayah (dalam konteks besar, laki-laki) yang kuat dibandingkan dengan posisi anggota keluarganya yang lain (termasuk ibu dan anak perempuan, yang tentu saja adalah perempuan). Dalam konteks zaman feodal, keluarga merupakan unit tanggung jawab sosial yang penting dalam suasana hidup komunal. Hal ini tentu saja kontras dengan kecenderungan individualitas yang terjadi pada masa modern. Pihak ayah di sini dianggap sebagai representasi dari keluarganya karena pengaruhnya tersebut. Oleh karena itu, ayah juga memiliki kekuatan dan kepemilikan atas segala aset yang dimiliki oleh keluarga. Dalam analisa Murray, kondisi ini menciptakan patriarki. Di mana pada akhirnya, ayah atau kaum laki-laki adalah pihak yang dominan dan berkuasa, sementara perempuan menjadi pihak yang lemah. Perubahan struktur masyarakat dari basis feodal menjadi basis kapitalis dianggap pula tidak membawa perubahan yang positif pada status perempuan.
“Hal baiknya adalah kita mengalami "modernitas" - dimana kita melakukan perubahan sosial dengan perencanaan, ada pendidikan dstnya. Tetapi disisi lain, kedua hal itu "kapitalisme dan kolonialisme" tetap menempatkan kaum perempuan khususnya sebagai "pihak yang lemah", di mana kontrol atas tubuh perempuan dan reproduksi biologis yang dimilikinya menjadi bagian dari "modernisasi". Ini kemudian mengubah konteks "pergundikan" menjadi lebih modern di satu sisi - di sisi lain tetap mengalami efek berganda yang melemahkan kaum perempuan” ujar Tia lagi.
Dalam pernyataan berikutnya, Tia menegaskan kembali bahwa sugaring atau pergundikan modern seperti yang dikatakannya merupakan produk dari ketimpangan relasi kuasa gender dalam masyarakat. Fenomena pergundikan modern kerap kali “didaur ulang” untuk kepentingan atas kontrol sosial di masyarakat. Dalam kata lain, sebagai cara “melestarikan” norma adat, kesusilaan, kesopanan, hingga norma agama dalam masyarakat. Namun, bagi Tia, intinya selalu saja sama.
“Intinya, tetap perempuan yang selalu "kalah" dalam konteks kapitalisme yang mengunggulkan moralitas dan kebenaran yang didominasi oleh sistem patriarki tadi (sistem patriarki lahir dari "the law of the father" atau feodalisme, bahwa yang punya hak mewarisi tanah atau materi adalah pertama-tama kaum laki-laki).”
Bagi Tia, hal tersebut juga yang menjadi faktor dalam cap stigma masyarakat bagi sugar baby sebagai tak ubahnya pelacur. Walaupun demikian, Tia tidak membalas pos-el kami ketika hendak mengonfirmasi apakah ia benar melihat sugaring sebagai prostitusi.
Selanjutnya, kami mewawancarai Marco Kumar selaku pengacara dari Magnus Law Offices. Ia menjelaskan bahwa definisi dari sugar baby masih belum jelas karena mereka hanya disebut sebagai “perempuan muda”, sedangkan istilah muda atau tua tidak dikenal dalam hukum. Pada konteks hukum, kategorisasi umur hanya dikenal dengan istilah dewasa dan anak-anak.
“Harus dikategorikan sebagai “perempuan dewasa” atau “anak perempuan” agar dapat dibedah berdasarkan hukum yang berlaku. Walaupun laki-laki dan perempuan dewasa memiliki hubungan dan perbedaan umurnya jauh, tidak ada permasalahan dan tidak melanggar hukum, asalkan telah sama-sama dewasa secara hukum,” jelas Marco pada Rabu (12/05/2021).
Jika kasus sugaring melibatkan pria dewasa dengan perempuan yang masih di bawah umur, yaitu 18 tahun ke bawah, maka kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum seperti halnya yang telah diatur pada UU Perlindungan Anak. Selain itu, jika laki-laki dan perempuan memiliki hubungan perkawinan tetapi tidak berstatus kawin, maka dapat dilaporkan dengan indikasi tindak pidana perzinahan.
Pada hukum Indonesia, undang-undang tidak menyebutkan kata “prostitusi”, tetapi diatur dengan bahasa lain, yaitu perdagangan orang yang menjadikan manusia sebagai objek yang diperjual belikan. Oleh karena itu, prostitusi memiliki arti yang luas. Dalam penanganan kasus prostitusi, saat kuasa hukum mendampingi korban atau terlapor, maka harus disesuaikan dengan pasal 296 KUHP, 297 KUHP jo, UU Perlindungan Anak, 506 KUHP, dan/atau 285 KUHP bila terdapat indikasi pemerkosaan dalam laporannya
“Fungsi kuasa hukum adalah melindungi klien agar mendapatkan hak hukumnya sehingga bila dalam pendampingan korban, maka kuasa hukum akan membantu korban dalam pemeriksaan dan konsultasi hukum terkait indikasi tindak pidana. Untuk mucikari yang melakukan penjualan manusia sebagai objek untuk melakukan percabulan, dapat dikenakan hukum karena melanggar peraturan hukum yang berlaku.” jelas Marco.
Sugaring yang melibatkan hubungan intim selama tidak melanggar hukum, asalkan tidak melibatkan pelanggaran hukum seperti pemerkosaan atau melibatkan anak-anak. Meski tidak melanggar norma hukum dalam bentuk hukum pidana, sugaring melanggar norma kesusilaan, adat, dan norma agama.
Reporter: Michael Jason Saputra/Kyra Gracella/Delycia Delvy/Kemy Titanic Afrido
Artikel ini adalah hasil peliputan berkelompok sebagai penugasan ujian akhir semester mata kuliah Indepth Reporting Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara pada 2021 lalu.
Comments