top of page
Search
Writer's pictureMichael Jason

(SULITNYA) MENJADI YAHUDI DI INDONESIA



Dalam sebuah artikel kajian mengenai representasi komunitas Yahudi dalam media daring Islami Media Dakwah, Burhanuddin (2007) menuliskan bahwa masalah anti-Semitisme atau sentimen anti-Yahudi adalah masalah yang punya latar belakang kuat di Indonesia. Di tengah negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, komunitas Yahudi di Indonesia secara virtual nampak tidak kelihatan.

“Jadi Yahudi di Indonesia itu tidak mungkin. Semua orang Yahudi di Indonesia pasti keluar, kalau mau taat,” ujar Elisheva Stross (nee Wiraatmadja), salah seorang anggota komunitas Yahudi-Indonesia diaspora. Beberapa tahun silam, kata-katanya sering menghiasi pelaporan media seputar isu umat Yahudi di Indonesia. Terlahir dalam keluarga berlatar belakang multireligius dengan etnis Yahudi Belanda, dirinya telah mendalami Yudaisme sejak 2010. Kini, dirinya tinggal di Israel meski masih berstatus warga negara Indonesia.

Beruntungnya, keluarganya mendukung proses perubahan tersebut, yang disebutnya ‘mengubah seluruh hidupnya’.

“Mereka ikut, ingin tahu seperti apa. Mereka juga datang merayakan,” ujarnya.

Jadi, apakah orang Indonesia secara umum membenci sesuatu yang tidak pernah dilihat secara langsung?

“Sebetulnya kalau secara lingkungan tidak masalah. Memang kalau secara social media, orang antipati sekali. Tetapi biasanya mereka yang sudah kenal saya, biarpun Muslim pun yang sudah sering kerja sama, mereka baik,”

Lantas, dari mana asalnya antipati tersebut?

Kalau mereka itu ‘kan koar-koarnya karena mereka tidak kenal. Begitu sudah kenal, mereka terbuka saja. Padahal bertemu dengan orang Yahudi sekali seumur hidup pun juga tidak pernah,” ujarnya sambil tersenyum.

Mengutip pada laporan Haaretz.com, salah seorang pemuka agama Yahudi di Indonesia memperkirakan hanya ada 140 penganut Yudaisme di seluruh Indonesia. Ini berarti bahwa terdapat 1 umat Yahudi untuk setiap 2 juta penduduk Indonesia. Sentimen anti-Semitisme yang marak di media dan serta persepsi publik yang mengaitkan umat Yahudi dengan Israel dan Zionisme (Burhanuddin, 2007) juga memainkan peran kuat dalam mendukung komunitas kecil ini semakin menutup dirinya.

“Sebetulnya banyak orang Yahudi, orang Israel di Indonesia. Tetapi begitu di Indonesia mereka menyembunyikan identitas,” tambah Elisheva lagi.

Di tingkat resmi, diskriminasi tersebut nyata pada fakta bahwa Republik Indonesia, sejak pendiriannya pada 1945, tidak pernah sekalipun mengakui Yudaisme sebagai agama resmi yang dapat dicantumkan dalam KTP dan punya akomodasi kebebasan beragama dari negara. Konfusianisme menerima pengakuan sebagai agama resmi keenam pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2000). Namun hingga saat ini, pengakuan yang sama belum diberikan kepada Yudaisme di Indonesia. Beserta pula dengan sederet kesulitan yang dihadapi umat Yahudi di Indonesia, terlebih bagi mereka yang benar-benar ingin taat menjalani hukum religiusnya.

“Saya tidak mengizinkan anak saya memakai kippah (penutup kepala Yahudi) di luar dan dia mengatakan pada teman-temannya bahwa ia seorang Kristiani,” ujar Riya, seorang anggota komunitas Yahudi di Indonesia lainnya seperti dikutip dari laporan Haaretz.com.

Ambil contoh mengenai makanan. Label halal untuk umat Muslim tersedia pada produk pangan dalam peredaran luas di Indonesia yang sudah disertifikasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Tetapi tidak dengan label kosher untuk umat Yahudi di Indonesia.

“Sebenarnya bukan tidak ada, tetapi sangat terbatas. Banyak makanan yang ada label kosher-nya tetapi sangat terbatas,” ujar Elisheva lagi. “Di Indonesia pun saya makanan kosher-nya harus beli di Singapura.”

Dengan terbatasnya jumlah komunitas yang kecil ini, pendidikan agama pun menjadi satu lagi kesulitan yang harus dihadapi. Jika umat Muslim Indonesia punya Al-Azhar atau Global Islamic School dan umat Katolik punya Kolese Gonzaga atau Kanisius, hingga hari ini tidak satupun sekolah di Indonesia menawarkan kurikulum pendidikan agama Yahudi.

“Kalau misalnya di sini kita berkeluarga, punya anak. Anaknya sekolah di mana? ‘Kan tidak ada sekolah untuk orang Yahudi. Agamanya juga bagaimana? Kalau masuk ke sekolah negeri mungkin disediakan untuk enam agama yang diakui. Tapi untuk agama Yahudi yang tidak diakui, gurunya juga tidak disediakan. Itu jadi repotnya,”

“Lalu, kalau mau menikah? Di Indonesia itu ‘kan peraturannya harus institusi agama dulu baru ke sipil. Kalau Yahudi, ke mana kita? Begitu maksudnya,” ungkap Elisheva lagi.

Di atas kemudian, menjalankan kewajiban beragama sendiri yang juga problematis.

“Misalnya Shabbat, itu kita tidak boleh kerja. Shabbat itu dari Jumat malam sampai Sabtu malam. Tidak boleh kerja itu benar-benar tidak hanya harus di rumah, tetapi tidak bisa pakai listrik. Kalau misalnya listriknya menyala dari sebelum Shabbat, tidak apa-apa. Tetapi kalau misalnya menyalakan lampu saat Shabbat, tidak boleh. Tidak boleh pakai elektronik, telekomunikasi,” ujarnya. “Kalau misalnya saya kerja dengan bos, dengan perusahaan Indonesia yang tidak mengerti hal itu lalu dia bilang, “Saya minta kamu masuk”. Bagaimana?”

“Ada artikel yang mengatakan “Negara melindungi (praktik agama Yahudi di Indonesia). Melindungi itu hanya omong kosong, karena apa bentuknya?”

“(Dalam kalender keagamaan Yahudi) ada satu bulan di mana hari rayanya itu banyak sekali, sehingga hari kerjanya hanya 6-10 hari. Seandainya saya kerja sama perusahaan Indonesia, bagaimana? Apakah mereka mau terima?”

Ketiadaan pengakuan resmi tersebut menjadi contoh nyata dari tidak ramahnya kebijakan Indonesia secara umum terhadap agama Yahudi, umat agama Yahudi, dan Israel. Sisi positifnya, hal ini memudahkan identifikasi siapa yang benar-benar Yahudi, siapa yang bukan.

Sejarah umat Yahudi di Indonesia sendiri tidak dapat dilepaskan dari kolonialisme Belanda yang memerintah Indonesia sebelum 1945. Pada abad ke-19, seiring dengan berkembangnya perekonomian dan industri kolonial di Kepulauan Indonesia, orang-orang Yahudi dari Eropa pun berdatangan. Sebagian besar dari mereka, menurut sumber dari Jewish Virtual Library, datang dari Jerman dan Belanda. Seratus tahun kemudian, tambahan pada komunitas kecil ini datang dari pendatang baru dari Belanda, Baghdad, dan Aden. Komunitas Yahudi di Indonesia semakin bertumbuh pada akhir 1930an, ketika orang-orang Yahudi dari Eropa kabur dari persekusi Jerman Nazi dan Holocaust yang berkecamuk.

Dengan berdirinya negara Israel modern pada 1948, sentimen anti-Yahudi di dunia Muslim pun berkembang, tidak terkecuali di Indonesia. Sebuah tajuk rencana yang diterbitkan tanpa nama pada Harian Kompas bertanggal 31 Desember 1968 misalnya menegaskan nada pengecaman atas Israel yang dianggap telah bertindak sewenang-wenang dalam penyerangan “terhadap kapal2 terbang sipil dilapangan udara”.

Dalam sebuah artikel kajian analisis lainnya, Karnanta (2010) menuliskan bahwa media memiliki peran besar dalam mereproduksi mitos seputar Yahudi, Israel, dan Zionis dalam benak masyarakat Indonesia. Penelusuran terhadap artikel-artikel pemberitaan soal komunitas Yahudi di Indonesia pun menunjukkan pelaporan-pelaporan yang berkisar waktu 2016 ke atas. Ini menunjukkan relatif barunya usaha media di Indonesia untuk ‘belajar’ soal komunitas yang selama ini sering luput dari pandangan media dan masyarakat.

Pada akhir Desember 2020, sebuah laporan The Times of Israel menyebutkan adanya bocoran dari sumber diplomatik tanpa nama yang menyebutkan adanya ketertarikan Indonesia untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Kebijakan tersebut ditempatkan dalam keterangan yang sama sebagai bagian dari tren sejumlah negara Muslim belakangan ini menormalisasi hubungan dengan Israel, memecahkan kebuntuan dan kedinginan diplomatis yang telah berlangsung sejak konflik negara-negara Arab dan Israel pada pertengahan abad ke-20 lalu. Namun, kurang dari seminggu kemudian, Presiden Joko Widodo dikabarkan membantah kabar tersebut.

“Meskipun terdapat perubahan yang cepat di Timur Tengah, Indonesia tidak akan mengambil langkah untuk menormalisasi hubungan dengan Israel sampai sebuah perdamaian yang permanen dan komprehensif tercapai di antara pihak Palestina dan Israel,” ujar Presiden Joko Widodo dalam sambungan teleponnya dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas seperti dikutip dari The Times of Israel.

Indonesia selama ini memang dikenal sebagai salah satu pendukung terbesar gerakan kemerdekaan Palestina. Isu Palestina dan Israel pun sering menghiasi media-media Indonesia, dengan nada pemberitaan yang berat sebelah. Menganalisis pemberitaan Star Weekly di Malaysia dan The Jakarta Post di Indonesia, Ozohu-Suleiman dan Ishak (2014) menemukan nada pemberitaan yang cenderung antipati terhadap Israel. Sebaliknya, media-media Indonesia (dan Malaysia) lebih cenderung kuat mengambil sisi pro-Palestina dalam pemberitaannya, diduga karena adanya kedekatan dengan agama mayoritas kedua negara yaitu Islam, yang juga menjadi agama mayoritas warga Palestina. Kedekatan itu diduga juga menjadi salah satu penyebab sentimen publik pro-Palestina dan anti-Israel di negara-negara tersebut.

Kini, satu-satunya sinagoga yang masih beroperasi di Indonesia adalah Sinagoga Shaar Hashamayim di Tondano, Sulawesi Utara. Sinagoga sebelumnya di Surabaya yang telah berdiri sejak masa penjajahan telah ditutup pada 2013.

Dalam bukunya “The “Convivencia” of Jews and Muslims”, penulis Mark Cohen menjabarkan soal kehidupan umat Yahudi dalam konteks negara-negara mayoritas Muslim. Secara historis, umat Yahudi hidup dalam situasi yang relatif bebas di negara-negara mayoritas Muslim jika dibandingkan dengan negara-negara mayoritas Kristen di Eropa. Situasi toleransi dan kebebasan yang relatif lebih luas ini menumbuhkan komunitas Yahudi dan kultur yang subur di negara-negara mayoritas Muslim. Ketika orang-orang Yahudi Sefardim diusir dari Spanyol usai promulgasi Edik Alhambra pada 1492, banyak dari mereka mengungsi ke wilayah di bawah pemerintahan Kesultanan Turki Utsmaniyah. Sebelum pendirian negara Israel modern pada 1948, tercatat terdapat pula komunitas Yahudi yang subur dan aktif di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang sejak abad ke-7 mayoritas berbahasa Arab.



Situasi kesulitan ini lantas perlu menjadi perhatian bersama masyarakat dan pemerintah Indonesia. Slogan perlindungan terhadap praktik semua agama tidak bisa hanya menjadi omong kosong. Perlu implementasi yang konkrit dalam mewujudkan perlindungan atas semua agama di Indonesia. Tidak terkecuali pula komunitas Yahudi yang saat ini berjumlah kecil di Indonesia. Adanya pengakuan resmi menjadi salah satu jalan terwujudnya perlindungan tersebut. Edukasi pada masyarakat dan dialog antar agama menjadi jalan untuk membuka pikiran dan menghilangkan prasangka yang sudah terlanjur lekat selama ini. Karena hanya dengan mengenal lebih dekat maka stereotipe dan prasangka ‘buruk’ dapat dihilangkan.


2 views0 comments

Comments


bottom of page