Balinese script study activity held by "Penyuluh Bahasa Bali". Source: Tribun Bali
Berdasarkan data Ethnologue pada 2000, terdapat 3,3 juta penutur bahasa Bali. Namun, jumlah ini ditengarai terus mengalami penurunan. Kini, pergerakan dari masyarakat dan kalangan akademika perguruan tinggi memberikan harapan baru bagi salah satu warisan linguistik Nusantara ini.
Bahasa Bali termasuk dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa, yang diidentifikasikan oleh ahli bahasa Belanda Karl Alexander Adelaar sebagai anggota dari cabang barat rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Bagi masyarakat Bali, eksistensi bahasa dan aksara Bali erat hubungannya dengan identitas mereka. Tidak hanya sebagai sebuah suku, melainkan juga dengan warisan religius agama Hindu yang kini masih mendominasi lanskap spiritual Pulau Dewata. Setidaknya itulah yang diutarakan oleh dosen program studi Sastra Bali Universitas Udayana I Gede Gita Purnama.
A map showing the spread and subbranches of various Pallava-derived scripts in India and Southeast Asia. Balinese belongs to the Kawi subbranch of the Pallava scripts. Source: Author's Archive
“Karena bahasa Bali, aksara Bali, sastra Bali itu terintegrasi dengan budaya Bali dan juga agama Hindu di Bali. Jadi bahasa Bali itu dipakai untuk berbagai kegiatan budaya, dipakai juga dalam ritus-ritus keagamaan, dipakai juga untuk menulis sastra baik sastra secara tradisional atau sastra modern” ungkap Gita ketika ditemui Sedara secara virtual, Jumat (23/4).
Namun, melansir dari jurnal Purwadita, bahasa Bali terus mengalami penurunan terutama di kota-kota besar. Posisinya terus tergeser oleh penggunaan bahasa lain, terutama bahasa Indonesia, meskipun tidak akan punah secara total sebagai bahasa ibu karena jumlah penuturnya yang masih banyak.
Sejak SMP, Gede Adi (20) telah tertarik mempelajari bahasa dan aksara Bali. Kini, ketertarikan itu ia wujudkan secara langsung dengan menuntut ilmu sebagai mahasiswa jurusan Sastra Bali di Universitas Udayana, Denpasar. Bagi pria kelahiran Denpasar, 9 Juni 2000 ini, mempelajari bahasa dan aksara Bali merupakan bagian dari identitasnya sebagai seorang Bali, sesuatu yang menurutnya tidak banyak digemari oleh kalangan anak muda hari ini.
“Aku sendiri berpikir kalau bukan orang Bali sendiri yang mempelajarinya, siapa lagi?” ujar Adi ketika diwawancara Sedara, Selasa (6/4).
Selain itu, ia berpendapat bahwa aksara Bali menjadi ciri khas dari ekspresi linguistik orang Bali, bahkan pada level individual.
“Yang paling penting sumber pengetahuan yang ada di dalamnya dan tiap orang punya bentuk tersendiri untuk menulis aksara dan mengungkapkan bahasa Bali. Mungkin menurutku di sana letak seninya”
Seperti halnya bahasa-bahasa Asia Tenggara lainnya, aksara tradisional Bali diturunkan dari aksara Pallawa yang berasal dari selatan India. Aksara Bali sendiri berkerabat dekat dengan aksara Sunda Kuno dan aksara Jawa. Keberadaan aksara-aksara “asli” kepulauan Nusantara ini menjadi bukti dari pengaruh budaya dan religius yang jelas dari Anak Benua India di Asia Tenggara.
Secara umum, aksara Bali dibagi menjadi tiga jenis. Wréastra, swalalita, dan modre. Wréastra digunakan untuk menulis bahasa Bali sehari-hari dan terdiri dari 18 huruf. Swalalita digunakan untuk menulis kata-kata serapan dari bahasa Kawi (Jawa Kuno) dan Sansekerta dan terdiri dari 15 huruf. Sementara itu, modre digunakan sebagai aksara suci yang memiliki signifikansi religius dalam upacara keagamaan. Secara visual, ketiganya tidak memiliki perbedaan. Namun, untuk membaca aksara modre diperlukan studi khusus terkait teks spesifik yang akan dibaca.
“Dia (aksara modre) itu tidak bisa dibaca oleh orang-orang yang tidak paham pada kebutuhan si pembuat aksara itu,” ujar Gita, yang telah mengajar sejak 201? di FIB Unud lagi. Menurutnya, sejauh ini hanya kalangan pandita (klerus agama Hindu) yang dapat membaca aksara modre.
Yang menarik justru, menurutnya, “kebangkitan” bahasa Bali tidak dimulai dari inisiatif pemerintah, melainkan respons masyarakat atasnya.
Infografik yang menunjukkan berbagai elemen dan garis waktu bahasa Bali.
(Michael Jason Saputra/Sedara)
“Jadi ketika 2013, kurikulum nasional itu, Kurikulum 2013 atau dikenal dengan K-13 itu mau menggabungkan bahasa daerah dengan muatan lokal itu kan ada gejolak. Salah satunya di Bali,” tutur Gita lagi.
Formulasi mata pelajaran muatan lokal dalam Kurikulum 2013 dianggap menyulitkan pengajaran bahasa daerah kepada siswa. Namun, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 79 Tahun 2014 kemudian diterbitkan memberikan keleluasaan bagi otoritas daerah untuk memutuskan integrasi muatan lokal ke dalam mata pelajaran lainnya atau sebagai mata pelajaran berdiri sendiri. Peraturan tersebut terbukti mengakomodasi pengajaran bahasa daerah. Bali pun memutuskan untuk bergabung dengan komunitas penggiat bahasa daerah Jawa, Sunda dan Madura untuk memisahkan bahasa daerah sebagai muatan lokal dari mata pelajaran seni dan budaya sebagai satu mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Pasca kesepakatan tersebut, antusiasme terhadap bahasa Bali pun mulai berkembang. Secara sporadis gerakan dan demonstrasi penyuluh bahasa dan aksara Bali dimulai. Masyarakat Bali kembali menemukan gairahnya untuk menegaskan identitas linguistik mereka. Pada 2016, organisasi Penyuluh Bahasa Bali didirikan dengan didanai oleh APBD provinsi. Dengan latar belakang pendidikan bahasa Bali dan penugasan di desa-desa dinas, organisasi ini menjadi salah satu perwujudan komitmn pelestarian bahasa Bali di tengah masyarakat.
“Penyuluh Bahasa Bali inilah yang menjadi salah satu garda terdepan hari ini untuk melestarikan, mengembangkan bahasa Bali” tutur Gita lagi.
Comments