Sekilas dilihat, Rumah Sakit Umum Siloam Kelapa Dua tampak tidak terlalu besar. Rumah sakit dengan kapasitas sekitar 200-an tempat tidur ini mulai beroperasi pada 2 Januari 2019. Lokasinya berada di Jalan Kelapa Dua Raya, sebuah jalan yang masih belum bisa dikatakan jalan besar. Dibandingkan dengan rumah sakit setara seperti RS Omni International di Alam Sutera atau RS Bethsaida di Gading Serpong, tentu keduanya lebih mudah ditemukan.
Sejak 18 Maret 2020, seluruh kapasitas tempat tidur rumah sakit ini didedikasikan khusus untuk penanganan COVID-19. Hal ini dilaksanakan kendati rumah sakit ini tidak termasuk dalam daftar rumah sakit yang ditunjuk pemerintah menjadi rujukan COVID-19. Kasus pertama COVID-19 di Kabupaten Tangerang sendiri ditemukan di Kelurahan Bencongan, Kecamatan Kelapa Dua. Hingga hari ini, Kelapa Dua menjadi kecamatan dengan kasus positif COVID-19 tertinggi se-Kabupaten Tangerang dengan jumlah 10 pasien positif. Bandingkan dengan total 17 pasien positif di seluruh Kabupaten Tangerang.
Dokter Rio Aditya (26) adalah salah satu dari sekian tenaga medis dalam jajaran RSU Siloam Kelapa Dua. Ia terhitung cukup aktif di media sosial, salah satunya lewat kanal YouTube dengan konten seputar kedokteran dan kesehatan. Dokter yang menempuh pendidikan dan juga pernah mengajar sebagai tutor di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan ini pada hari itu bertugas sebagai dokter sif malam. Namun malam bukan berarti bersantai-santai. Jam kerja yang berlangsung dari pukul 16.00 hingga pukul 08.00 ini terbilang cukup sibuk. Monitoring pasien harus senantiasa dilakukan, belum lagi jika ada pasien baru yang masuk dan perlu segera ditangani. Ditambah lagi dr. Rio, menurut keterangan sang ibunda Tjio Emy, sedang menjalani studi untuk mengambil spesialis ortopedi (bedah tulang).
dr. Rio mengaku tidaklah mudah menjadi seorang tenaga medis yang menangani virus corona atau COVID-19. Seiring dengan pengalaman yang ditempuhnya, ia juga belajar mengenali jenis virus baru ini. Memang, belum pernah ada virus di zaman modern yang lebih menghebohkan dunia daripada virus corona. Walaupun dikatakan sejenis dengan SARS dan MERS, kedua virus itu tidak mengharuskan adanya karantina atau bahkan pembatasan sosial sewaktu terjadinya.
“Di awal-awal kita mengira virus ini tidak berbahaya bagi anak-anak muda dan yang tidak memiliki faktor pemberat seperti asma, diabetes, kanker, dan penyakit lainnya” jelas dr. Rio. Pengalaman adalah guru terbaik, kata orang bijak. Seiring dengan perkembangan pandemi COVID-19 ini, semakin banyak pasien berguguran. Mereka yang semula tidak disangka-sangka, seperti mereka yang masih muda dan sehat, justru mengalami gejala berat hingga meninggal. Sedangkan pada mereka yang diduga berpotensi, justru terjadi sebaliknya.
“Jadi virus ini kelihatannya semakin sulit diprediksi tingkat fatalitasnya.”
Fasilitas layaknya Wisma Atlet di Jakarta dibuka khusus oleh pemerintah sebagai tempat karantina COVID-19. Fasilitas semacam ini bukanlah rumah sakit. Yang dikarantina pun hanya pasien dengan gejala ringan dan sedang. Sementara mereka yang menderita gejala berat dirujuk langsung ke rumah sakit.
“Sebagian besar pasien terkadang perawakannya sehat-sehat saja. Tapi setelah ditelaah lebih lanjut, ternyata (menderita) kerusakan paru-paru dan oksigenasi tubuh (yang) tidak baik). Ini yang berbahaya” kata dr. Rio.
Isolasi menjadi metode standar penanganan yang berlaku di hampir seluruh dunia. Kontak pasien dengan tenaga medis diminimalisasi. Penggunaan alat pelindung diri (APD) adalah suatu kewajiban bagi para tenaga medis yang bertugas. Bagi dr. Rio, ini menjadi suatu permasalahan tersendiri.
“Buat orang yang tidak terbiasa dengan olahraga berat akan sengsara pakai APD full yang level 4. Bayangkan saja berjam-jam udara udara yang kita hirup ooksigennya sedikit, karena sebagian besar CO2 yang kita keluarkan sendiri.”
Sedangkan kontak dengan dunia luar hampir terputus. Kondisi kesendirian seperti ini tentunya berpengaruh, khususnya pada kondisi mental pasien.
“Sangat sedih sekali. Selain berjuang secara fisik, perjuangan terbesar mereka adalah masalah mental. Tidak mudah berminggu-minggu di rumah sakit dengan keadaan sakit, tapi sendirian. Benar-benar sendirian di isolasi,” tutur dr. Rio. “Sangat sedih sekali dan tidak sedikit yang menunjukkan gejala depresi.”
Namun, dr. Rio mengatakan, para pasien pulalah yang akhirnya menjadi sumber kekuatan dan semangatnya.
“Ketika capek berjam-jam menahan lapar haus, rasa ingin buang air kecil/besar, kangen dengan keluarga di rumah. Berhadapan dengan pasien yang down dan stress tentu hal ini yang bikin kita jadi rasanya capek. Tetapi akhirnya pasien-pasien sendiri juga yang memberikan semangat dan doa, dan jadi motivasi lagi untuk terus merawat mereka.”
Serupa Agak Beda
2,2 kilometer ke selatan RSU Siloam Kelapa Dua terletak Griya Anabatic. Masih di kecamatan yang sama, bangunan yang sebelumnya merupakan wisma ini sekarang diperuntukkan sebagai tempat singgah karantina COVID-19. Konsepnya sendiri dijelaskan dalam sebuah berita yang dimuat di situs kompas.com. Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar menjelaskan bahwa ini adalah instruksi dari Menteri BUMN, sekarang ini dijabat oleh Erick Thohir. Tujuannya ialah agar Kabupaten Tangerang memiliki tempat seperti Wisma Atlet Kemayoran. Memang semenjak pembangunannya, beban rumah sakit di sekitar daerah Tangerang pun berkurang. Pasien dengan gejala ringan atau tanpa gejala dialihkan perawatannya ke Griya Anabatic. Sementara rumah sakit diminta berfokus menangani pasien gejala sedang dan berat.
Salah satu personel jaga medis di sana adalah dr. Filemon Manasye William Sondakh.
Sama seperti dr. Rio, dr. Filemon kedapatan tugas jaga malam. Bedanya adalah waktu jaganya yang lebih singkat. Ketika pertama diwawancarai, dr. Filemon baru saja selesai jaga sif malam kedua dari jam 02.00–08.00. Giliran ini tidak konstan itu-itu terus, melainkan selalu bergulir ganti-gantian.
“Pada dasarnya memang sama dengan Wisma Atlet di Jakarta yaitu sama-sama menangani kasus COVID-19 yang ringan saja” ujar dr. Filemon dalam pesan teks aplikasi Line. Memang dimaklumi, para dokter yang bertugas memiliki jadwal dan ritme kerja yang sangat sibuk sehingga memegang handphone untuk sekedar membaca tulisan pun jarang punya kesempatan. Oleh karena itu, mereka memang dijangkau dengan aplikasi pesan berbasis teks. Lagi-lagi APD menjadi permasalahan tersendiri baginya. Sesak nafas dan kebelet buang air disebutnya menjadi beberapa poin permasalahan penggunaan APD.
“Jadi kalau aktivitas atau kerja menggunakan APD agak sulit dan tidak bisa lama-lama” tukas dr. Filemon. “Kalau di kami sistemnya adalah jika memang sudah tidak kuat ya boleh keluar/lepas APD.”
Lainnya adalah fungsi APD yang hanya pakaian sekali pakai saja. Keterbatasan jumlah APD di Indonesia masih sedikit cenderung kekurangan. Ini membuat para dokter harus memaksakan penggunaan APD yang lebih lama. Semua demi menghemat alat pelindung yang berharga nan vital itu. Pelepasan APD harus dilakukan sesudah petugas sampai di ruang pos pemantauan.
Soal akomodasi, para dokter dan perawat yang bertugas di Griya Anabatic telah disediakan tempat tinggal tersendiri. Hal ini dapat mengurangi risiko penularan COVID-19, terutama pada anggota keluarga yang tinggal di rumah.
“Kami dapat tempat tinggal disini,” kata dr. Filemon. “Kemarin saya tetap pulang sih sekitar 5 hari-an.”
Komunikasi dengan pasien dilakukan lewat telepon, panggilan suara WhatsApp, atau panggilan video. Selain itu, pemantauan dilakukan lewat CCTV dan pengecekan secara berkala status pasien.
“Biasanya sih keluhan-keluhan pasien disini adalah perasaan sedih atau kesepian” sebut dr. Filemon. COVID-19 merupakan suatu jenis penyakit yang baru, meskipun tidak sepenuhnya baru. Penyakit yang diduga sejenis dengan SARS dan MERS ini pertama ditemukan di kota Wuhan, Tiongkok pada akhir 2019. Penyebarannya yang cukup cepat dan terbilang “mudah” meresahkan banyak orang. Tak heran, para pasien dan penderita tak jarang menerima perlakuan yang tidak pantas atau bahkan dikucilkan dari masyarakat sekitarnya. “Merasa dihakimi oleh masyarakat atau lingkungan sekitar” tukas dr. Filemon lagi. Terkait apakah gejala-gejala psikologis pasien tersebut mengindikasikan gangguan mental/batin tentu saja perlu dilakukan evaluasi yang lebih luas dan komprehensif lagi. “Biasanya pasien ingin cepat pulang, bertemu dengan keluarga.”
Berdasarkan data 13 Mei 2020, Rumah Singgah Griya Anabatic disebut mampu menampung 100 pasien tanpa gejala dan gejala ringan COVID-19. Sebanyak 69 pasien telah dirawat di rumah singgah ini. Dari jumlah itu, 46 pasien dalam perawatan dan 23 pasien telah sembuh dan telah dipulangkan. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah mengingat pertumbuhan kasus COVID-19 secara umum.
Dalam sejarah, belum pernah virus atau pandemi manapun menyebabkan dampak se-signifikan COVID-19. Realita manusia seakan diubah. Kedekatan kini bukan lagi soal jarak dan sentuhan fisik, melainkan simpati dalam wujud lain. Untuk para dokter ini, suatu kontras terjadi yang bisa dibilang menyedihkan. COVID-19 mendekatkan mereka dengan para pasien yang bahkan tidak dikenal sama sekali. Pada saat yang bersamaan, menjauhkan mereka dari orang-orang yang mereka sayangi. Bagi kedua orangtua dr. Rio Aditya, perjuangannya dimaknai sebagai suatu perjuangan mulia bagi kepentingan banyak orang.
“Saya bangga dan terharu saat dia mau membantu (merawat) pasien COVID-19. Sebagai seorang ibu meskipun berat hati untuk menerima ini, tapi saya tahu ini tugas untuk keselamatan orang banyak. Saya hanya bisa berdoa (dan) serahkan semua sama yang di atas” ujar Tjio Emy, ibunda dr. Rio.
Sedangkan bagi sang ayah, dr. Rio merupakan sosok yang berdedikasi dan sangat peduli pada sesama di sekitarnya.
“Sangat peduli, loyal, dan berdedikasi dengan profesinya. Banyak menolong saudara dan teman-teman yang membutuhkan saran/konsultasi” ujar Budi Sukamto, ayah dr. Rio yang juga berperan meyakinkannya untuk menekuni profesi sebagai seorang tenaga medis.
“Dalam perjalanannya memang ada 2 kali masa-masa sulit yang sempat membuat Rio bosan menjalani kuliah dan koas. Namun, puji Tuhan setelah kami memberi nasihat, pandangan, dan merasa yakin Rio akan bisa melalui kesulitan-kesulitan, akhirnya Rio dapat melalui masa-masa sulit itu, dan menyelesaikan sampai lulus sebagai dokter.”
Orang terdekat tidak selalu harus keluarga. Saat dihubungi pada 27 Mei lalu, Jessica Christianty bersedia untuk diwawancarai. Kekasih dr. Filemon ini mengaku sudah mengenal satu sama lain sejak 2010. Ia adalah seorang product specialist di Orang Tua, salah satu grup usaha besar di Indonesia yang bergerak di bidang produk konsumen. Hal ini tidak menjadi penghalang buat mereka. Hingga sekarang, keduanya masih aktif berkabar satu sama lain.
“Sempet kaget sih. Hal pertama yang aku tanya, suruh dia tanya dulu ke orangtua. Biar gimana itu pasti menyangkut keluarga. Kalau keluarganya dukung, ya berarti aku juga harus dukung dong,” sebut Jessica.
“Masih kok (berkabar) tiap hari” tambah Jessica lagi.
“Ya lumayan deg-degan. Kan kali aja temennya konyol bercandaan lepas-lepas APD” ujar Jessica lagi, disusul dengan tawa lepas.
Deg-degan, sudah pasti. COVID-19 bukan virus sembarang macam influenza atau dengue. Per 30 Mei 2020, kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia terhitung sebanyak 25.773 kasus dengan 12.832 kasus dalam perawatan. Pada tanggal yang sama, virus yang berasal dari kota Wuhan, provinsi Hubei di Tiongkok ini telah menginfeksi lebih dari 6 juta orang sedunia.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Daeng M. Faqih menyatakan pada 18 April lalu 24 dokter di seluruh Indonesia telah gugur memerangi virus corona. Lebih lanjut lagi, sebanyak 50% dokter konsulen dan spesialis diperkirakan telah terinfeksi virus corona. Angka yang memprihatinkan, mengingat setengah dari total 176.591 dokter di seluruh Indonesia bukanlah jumlah yang sedikit.
“Salah sendiri jadi tenaga medis, risiko lu jadi dokter, dan sebagainya,” ujar dr. Filemon, menyayangkan prasangka buruk yang ditargetkan masyarakat pada para tenaga medis yang menangani COVID-19.
COVID-19 adalah sebuah paradoks. Di saat harus menjauh, malah diminta untuk semakin mendekat. Bukan secara fisik, namun secara jiwa. Berbagai cara sudah dilakukan di berbagai belahan dunia untuk menyemangati para pejuang garis depan. Seperti di Inggris misalnya. Pada Kamis, 16 April lalu, gerakan Clap for Cares memberikan dukungan pada para dokter dan suster lewat tepuk tangan. Dukungan bagi para personil National Health Service (NHS) ini melibatkan semua lapisan masyarakat, mulai dari polisi, pemadam kebakaran, hingga masyarakat umum. Sementara di Indonesia, masyarakat pun juga turut serta mendukung para tenaga medis dalam berperang melawan virus corona. Mulai dari para pengemudi Gojek di Makassar yang saweran memberikan makanan hingga seorang desainer baju yang membuat APD gratis untuk didistribusikan pada para tenaga medis yang membutuhkan.
Memang benar kalimat yang mengatakan: not all heroes wear capes. Tidak semua pahlawan memakai jubah. Beberapa dari mereka memakai jas praktek laboratorium dan APD. Kendati demikian, mereka masih perlu dukungan masyarakat luas. Pandemi COVID-19 dapat dijadikan momentum sempurna bagi masyarakat Indonesia khususnya, dan dunia umumnya untuk semakin menghargai perjuangan para petarung garda depan ini. Tidak hanya dalam bentuk simpati, tetapi juga dalam bentuk empati. Seperti mengutip dari kata-kata Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, “solidaritas adalah kunci melawan corona”.
Comments